Dalam konteks penentuan Penghasilan Kena Pajak, pembebanan biaya bunga pinjaman seringkali menjadi isu sengketa antara Wajib Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), terutama terkait kriteria biaya untuk Mendapatkan, Menagih, dan Memelihara Penghasilan (3M) sesuai Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh). Kasus PT LMP dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-014667.15/2020/PP/M.IVB Tahun 2025 menjadi studi kasus penting yang menegaskan bahwa prinsip substansi ekonomi dapat mengalahkan formalitas rantai transaksi, di mana koreksi biaya bunga sebesar Rp. 665.602.343,00 oleh DJP atas PPh Badan Tahun Pajak 2016 akhirnya dibatalkan.
Inti konflik dalam perkara ini berpusat pada hubungan kausalitas. DJP mengoreksi biaya bunga yang dibayarkan PT LMP kepada Bank M karena pinjaman tersebut digunakan untuk melunasi utang kepada Pemegang Saham. DJP berargumen bahwa penggunaan dana yang tidak langsung mengalir ke kegiatan operasional Perusahaan (3M) menjadikan biaya bunga tersebut sebagai non-deductible expense berdasarkan Pasal 9 ayat (1) UU PPh. Pandangan DJP menuntut adanya bukti transfer dana yang secara langsung masuk ke pos modal kerja dari pinjaman bank.
Namun, PT LMP berhasil membantah dengan menyajikan bukti bahwa utang kepada Pemegang Saham tersebut pada mulanya memang digunakan untuk mendanai modal kerja dan operasional perusahaan. Dengan kata lain, pinjaman Bank M berfungsi sebagai substitusi atau pengalihan utang yang tujuan akhirnya tetap membiayai 3M. PT LMP memanfaatkan proses banding untuk melengkapi audit trail berupa buku besar dan bukti transfer yang menguatkan rantai penggunaan dana ini.
Majelis Hakim Pengadilan Pajak memberikan pendapat hukum yang pro-substansi ekonomi, yaitu menilai tujuan akhir dan penggunaan dana awal. Majelis menerima bukti tambahan dari PT LMP dan memperoleh keyakinan bahwa dana pinjaman Bank M, meskipun digunakan untuk membayar Pemegang Saham, pada akhirnya terkait erat dengan pembiayaan kegiatan 3M perusahaan. Majelis menyimpulkan, berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU PPh, biaya bunga tersebut wajib dibebankan. Keputusan akhir Majelis adalah mengabulkan seluruh permohonan banding PT LMP, membatalkan seluruh koreksi Biaya Bunga Pinjaman serta sanksi administrasinya.
Implikasi putusan ini bagi praktik perpajakan sangat signifikan. Putusan ini menjadi preseden yang penting bagi Wajib Pajak yang menggunakan skema pendanaan berantai, seperti bridge financing atau pengalihan utang dari pihak ketiga/afiliasi ke bank. Keputusan ini menekankan bahwa kunci sukses sengketa pembebanan biaya bunga terletak pada kemampuan Wajib Pajak menyajikan dokumentasi yang komprehensif (audit trail) yang menghubungkan setiap tahap pinjaman dengan tujuan akhir yaitu pendanaan kegiatan 3M perusahaan, bukan sekadar melihat formalitas transfer dana terakhir.